Thursday, May 24, 2007

Ratu, Musik Populer, dan Budaya Patriarkal

Oleh Gindho Rizano

Dalam musik populer Indonesia, frase 'Band papan atas' selalu diasosiasikan dengan band-band pria seperti sebut saja Samsons, Nidji atau Dewa. Tidak bisa dipungkiri ada kecenderungan untuk tidak memasukkan band wanita, seberapa pun populernya, dalam kategori tersebut. Ambil duo Ratu sebagai contoh; Dari segi penjualan dan popularitas band ini tentunya tidak kalah dari band pria yang disebutkan diatas. Namun tampaknya titel band papan atas nampaknya belum lengket dengan Ratu. Kenapa? Ini semua tidak lepas dari permasalahan gender.

Budaya patriarkal membuat kita menganggap bahwa hanya band laki-laki seperti Samsons, Peter Pan atau Dewa 19 yang bisa diberi titelband nomor satu. Apalagi 'band' selalu diasosiasikan dengan laki-laki dan dunianya. Lihat saja pada kata frontman yang bias gender dan kata seperti band leader yang mengamsusikan otoritas dan mengingatkan kita pada Law-of-the-Fathe- nya Jaques Lacan. Bagi remaja pria, menjadi 'anak band' adalah sebuah identitas yang patut dibanggakan sementara remaja wanita dibentuk sebagai penonton pasif pada pertunjukan konser dan mendapatkan identitasnya dari memuja band-band yang dianggap 'keren'.

Dalam budaya patriarkal mengakui band wanita lebih besar dari band lain berarti mengakui kekalahan laki-laki dalam bermusik mengingat 'band' adalah situs dimana laki-laki untuk unjuk gigi: untuk menjadi 'laki-laki'. Dalam budaya patriarkal yang bersifat hirearkis dan manipulatif ini, kehebatan wanita (secara sadar atau tidak sadar) selalu disangkal.

Lain halnya dengan dunia penyanyi wanita solo yang dimana orang mudah saja menganugrahi titel diva pada penyanyi seperti, sebut saja Siti Nurhaliza atau KD. Penganugrahan dan penghargaan yang tinggi pada mereka salah satunya disebabkan karena imej mereka yang sesuai dengan asumsi dan konstruksi budaya partriarkal tentang 'bagaimana wanita seharusnya': lembut, keibuan, tahu tempat dan segala macam sifat pasif dan konformis lainnya.

Berbeda dengan 'diva' tersebut, Ratu mempunyai imej nakal, independen, tidak bisa diatur, dan malah mengatur. Ini bisa dilihat dari video mereka 'Lelaki Buaya Darat' dimana diceritakan pada akhir video tersebut mereka balik menyandera kaum pria yang sebelumnya telah menyandera mereka.

Dalam video yang sama mereka menunjukkan bahwa jatidiri wanita tidak melulu didapat dari hubungan cinta dengan pria; Identitas dapat diraih dari sikap sisterhood dimana digambarkan di video tersebut satu personel band menolong personel band lainnya.

Ini berbeda dengan wacana yang dibentuk banyak video musik lain yang beredar bahwa wanita hanya mempunyai arti bila mendapatkan cinta sang laki-laki. Satu lagi yang pantas dicatat adalah walaupun kedua personel Ratu berstatus Ibu, mereka tidak melihatkan sifat 'keibuan' pada penampilan publiknya; satu lagi goncangan kecil pada budaya patriarkal. Ratu berhasil melihatkan bahwa identitas bersifat tidak tetap dan 'cair'; Wanita tidak bisa distereotipkan menjadi satu hal seperti Ibu rumah tangga atau wanita penggoda.

Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari pembahasan pendek ini. 1) Musik populer adalah situs dimana ketimpangan gender dipertahankan dimana wanita dikontruksi sebagai penonton pasif. 2) Dominasi band pria dan 'Penganugrahan' titel diva pada penyanyi solo tak lepas dari apa yang disebut Kate Millett sebagai 'politik seksual'. 3) Budaya populer tidak hanya merupakan manipulasi budaya massa kapitalisme tingkat lanjut, namun juga bisa dilihat sebagai ekspresi otentik kelompok tertentu.

*) Gindho Rizano S.S. adalah dosen magang Di Fakultas Sastra Universitas Andalas

Pemuda Indonesia: Medan Grafiti Globalisasi

Oleh Mohammad Afifuddin

Lazim kita temui, anak muda (baca: mahasiswa) di Surabaya pergi ke kampus dengan mengecat rambutnya warna-warni. Atau sekelompok remaja yang gemar nongkrong di café berlisensi asing (transnasional) di dalam kompleks pertokoan mewah atau mal-mal dan plaza.

Bisa ditebak, golongan pertama mungkin sudah malu membawa identitas generasi muda Indonesia yang memang secara genital rambutnya berwarna hitam dan sedikit ikal. Sedangkan yang terakhir ini, pasti merasa risih jika harus makan di pinggir jalan atau berlama-lama cangkru`an di warung kopi.

Fenomena ini menjadi bukti dari analogi yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, bahwa kegilaan mencari identitas “semu” tersebut sebagai ekstasi yang melanda masyarakat kontemporer. Di mana orang akan berduyun-duyun mendatangi gerai McDonald`s daripada “McDono.” Walaupun beda status made in-nya, tapi relatif tidak beda rasa dan kelezatannya, apalagi menghilangkan cap makanan tersebut sebagai junk food.

Semua berpulang pada satu motif: demi gengsi dan prestise. Karena status “manusia modern” hanya untuk mereka yang melakukan itu semua. Tradisi mimikri ini terus lestari akibat makin terlembaganya kebiasaan tersebut dalam mind set budaya mayoritas anak muda Indonesia zaman sekarang. Apalagi sejak pesatnya perkembangan industri budaya pop dalam dekade 80-an sampai akhir 90-an.

Bahkan ada lagi yang menarik. Sebuah pemberitaan di salah satu media mengisahkan tertangkapnya seorang pemuda oleh Polisi akibat membawa narkoba. Ketika ditanya motifnya, simple ia menjawab, “ingin seperti para musisi rock di Amrik.” Atau yang lebih ekstrem lagi ingin mengikuti jejak sang mahaguru Raggae asal Jamaika, Bob Marley.

Kondisi macam itu sebenarnya ingin berbicara pada kita, bahwa, identitas budaya Indonesia sedang pada titik nadir. Karena yang akan dipertaruhkan adalah anak muda: satu generasi yang menjadi tumpuan penerus estafet budaya nusantara yang (katanya) dulu pernah mendapat “gelar” Adi Luhung.

Banyak orang sepakat, makin lama usia kemerdekaannya, negeri ini memang makin terjajah. Tentu tidak lagi terjajah dalam arti konvensional. Melainkan penjajahan finansial dan penjajahan politik. Dengan bergabungnya Indonesia dalam blok AFTA dan WTO, makin menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap tersetir oleh kebijakan neo-liberalisme dari para agen The Economic Hit Man macam IMF atau Bank Dunia.

Tapi kesadaran masyarakat atas invasi di bidang politik dan ekonomi, mungkin akan sedikit melalaikan bahayanya posisi suatu bangsa bila telah terjajah secara kultural. Karena jamak dipahami, budaya memegang peranan penting sebagai “otak” dari segala tingkah laku masyarakat, sekaligus penanda identitas kultural sebuah bangsa.

Secara garis besar, dalam budaya dikenal dua jenis: budaya material (fisik, simbol) dan budaya in/non-material (pemikiran, ajaran, kepercayaan, dsb). Penjajahan yang dilakukan dalam bentuk material akan cenderung mudah terdeteksi secara kasat mata. Sebab percampuran arsitektur antar kultur dalam sebuah bangunan atau hybridasi bentuk dalam wujud pakaian adat dengan cepat dapat diketahui asal muasal identitas mulanya.

Bandingkan dengan kolonialisasi yang masuk dalam ranah kognitif dan mentalitas manusianya. Siapa yang dapat mengukur kedalaman rasa seseorang secara tepat? Dan siapa pula mampu menimbang percampuran unsur-unsur pembentuk mind set seseorang?

Nampaknya, kondisi itulah yang sedang kita hadapi. Benturan budaya yang intens lama-kelamaan kian menghilangkan elemen asal budaya aslinya. Buktinya generasi muda kita rela menyerahkan tubuhnya untuk dilumuri “grafiti” dari negeri seberang. Mereka tak rikuh membebek pada industri fashion barat. Lantas memanjakan matanya dengan tontonan sinema maupun tayangan hiburan asing, layaknya produk MTv dan Holywood.

Lalu kemanakah tayangan-tayangan hiburan produksi pribumi yang dulu masih menghiasi layar kaca, macam serial si Unyil atau pementasan wayang dan ludruk? Semua luluh dalam aksi panggung Cristhina Aguilera dan akting menawan Brad pitt. Bahkan produk industri hiburan Indonesia modern justru datang dengan wajah ambigu: pemainnya tetap orang Indonesia, tapi ide dan konsep acaranya justru impor. Contoh aktualnya terepresentasi dalam AFI, Indonesian Idol, KDI, dan sejenisnya.

Artinya, status paling fundamental dari kita telah tergadaikan. Dengan sinis Afrizal Malna menyebutnya sebagai Amerikanisasi tubuh (Kompas, 21/08/05). Afrizal menuturkan Amerikanisasi tubuh berlangsung lewat politik globalisasi yang dijalankan Amerika dan negara kapitalis lainnya untuk melakukan hegemoni ikon-ikon Amerika (penjajahan) melalui sarana berbagai media. Amerika sengaja mengonstruksi ikon-ikonnya sedemikian rupa lewat wacana kebudayaan pop, teknologi, dan modal. Akhirnya propaganda itu tertanam dalam tubuh kita sebagai koloni identitas dan konsumsi.

Artinya globalisasi membuat kebudayaan (termasuk tubuh kita) seperti jalan raya. Berbagai jenis kendaraan bebas hilir mudik di atasnya. Akibatnya ikon tunggal tersebut (Amerikanisasi) cenderung tidak dilihat secara kritis. Bahkan identitasnya seperti terendam dalam keberagaman. Parahnya lagi, seakan-akan “kita adalah Amerika.” Tetapi sebaliknya “Amerika bukanlah kita.”

Kontemplasi dan Refleksi

Indonesia yang sudah berkali-kali ditaklukkan dalam berbagai bidang dalam konteks modernisasi dan globalisasi seperti jeratan utang oleh korporasi politik keuangan internasional (utang internasional) membuat tubuh bangsa Indonesia layaknya orang yang terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit.

Namun, konteks kontemporer yang juga menampilkan wajah Indonesia yang telah tertindas secara kultural, makin memperparah kondisi di atas. Lantas masih bisakah kita tertawa dan berbahagia, bila secara pemikiran dan mentalitas saja masih terjajah?

Anthony Giddens pernah mengutarakan bahwa kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif-diskursif (discoursive conciousness) masyarakatnya. Dengan konteks seperti itu, sudah selayaknya para elemen bangsa ini tidak hanya rutin melakukan ritual peringatan hari besar kebangsaan yang malah terkesan artifisial.

Artinya manifestasi nasionalisme guna menghadang penetrasi kaum neo-imprealis tidak hanya dilakukan dengan modus konvensional ala masa penjajahan atau revolusi, tapi juga harus terus dikontekstualisasikan dengan model penjajahan yang terus memperbarui diri tersebut. Karena bentuk penjajahan baru telah nampak di depan mata, maka dengan bertindak cepat, generasi muda bangsa ini tidak akan melangkah dengan pertanyaan, “mau dibawa ke mana negeri ini?.”

*) Mohammad Afifuddin adalah peneliti muda di PaSKal (Pusat Studi Kebudayaan dan Politik) Jember dan pegiat SoAC (Sense of Aufklarung Community).