Oleh Mohammad Afifuddin
Lazim kita temui, anak muda (baca: mahasiswa) di Surabaya pergi ke kampus dengan mengecat rambutnya warna-warni. Atau sekelompok remaja yang gemar nongkrong di café berlisensi asing (transnasional) di dalam kompleks pertokoan mewah atau mal-mal dan plaza.
Bisa ditebak, golongan pertama mungkin sudah malu membawa identitas generasi muda Indonesia yang memang secara genital rambutnya berwarna hitam dan sedikit ikal. Sedangkan yang terakhir ini, pasti merasa risih jika harus makan di pinggir jalan atau berlama-lama cangkru`an di warung kopi.
Fenomena ini menjadi bukti dari analogi yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, bahwa kegilaan mencari identitas “semu” tersebut sebagai ekstasi yang melanda masyarakat kontemporer. Di mana orang akan berduyun-duyun mendatangi gerai McDonald`s daripada “McDono.” Walaupun beda status made in-nya, tapi relatif tidak beda rasa dan kelezatannya, apalagi menghilangkan cap makanan tersebut sebagai junk food.
Semua berpulang pada satu motif: demi gengsi dan prestise. Karena status “manusia modern” hanya untuk mereka yang melakukan itu semua. Tradisi mimikri ini terus lestari akibat makin terlembaganya kebiasaan tersebut dalam mind set budaya mayoritas anak muda Indonesia zaman sekarang. Apalagi sejak pesatnya perkembangan industri budaya pop dalam dekade 80-an sampai akhir 90-an.
Bahkan ada lagi yang menarik. Sebuah pemberitaan di salah satu media mengisahkan tertangkapnya seorang pemuda oleh Polisi akibat membawa narkoba. Ketika ditanya motifnya, simple ia menjawab, “ingin seperti para musisi rock di Amrik.” Atau yang lebih ekstrem lagi ingin mengikuti jejak sang mahaguru Raggae asal Jamaika, Bob Marley.
Kondisi macam itu sebenarnya ingin berbicara pada kita, bahwa, identitas budaya Indonesia sedang pada titik nadir. Karena yang akan dipertaruhkan adalah anak muda: satu generasi yang menjadi tumpuan penerus estafet budaya nusantara yang (katanya) dulu pernah mendapat “gelar” Adi Luhung.
Banyak orang sepakat, makin lama usia kemerdekaannya, negeri ini memang makin terjajah. Tentu tidak lagi terjajah dalam arti konvensional. Melainkan penjajahan finansial dan penjajahan politik. Dengan bergabungnya Indonesia dalam blok AFTA dan WTO, makin menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap tersetir oleh kebijakan neo-liberalisme dari para agen The Economic Hit Man macam IMF atau Bank Dunia.
Tapi kesadaran masyarakat atas invasi di bidang politik dan ekonomi, mungkin akan sedikit melalaikan bahayanya posisi suatu bangsa bila telah terjajah secara kultural. Karena jamak dipahami, budaya memegang peranan penting sebagai “otak” dari segala tingkah laku masyarakat, sekaligus penanda identitas kultural sebuah bangsa.
Secara garis besar, dalam budaya dikenal dua jenis: budaya material (fisik, simbol) dan budaya in/non-material (pemikiran, ajaran, kepercayaan, dsb). Penjajahan yang dilakukan dalam bentuk material akan cenderung mudah terdeteksi secara kasat mata. Sebab percampuran arsitektur antar kultur dalam sebuah bangunan atau hybridasi bentuk dalam wujud pakaian adat dengan cepat dapat diketahui asal muasal identitas mulanya.
Bandingkan dengan kolonialisasi yang masuk dalam ranah kognitif dan mentalitas manusianya. Siapa yang dapat mengukur kedalaman rasa seseorang secara tepat? Dan siapa pula mampu menimbang percampuran unsur-unsur pembentuk mind set seseorang?
Nampaknya, kondisi itulah yang sedang kita hadapi. Benturan budaya yang intens lama-kelamaan kian menghilangkan elemen asal budaya aslinya. Buktinya generasi muda kita rela menyerahkan tubuhnya untuk dilumuri “grafiti” dari negeri seberang. Mereka tak rikuh membebek pada industri fashion barat. Lantas memanjakan matanya dengan tontonan sinema maupun tayangan hiburan asing, layaknya produk MTv dan Holywood.
Lalu kemanakah tayangan-tayangan hiburan produksi pribumi yang dulu masih menghiasi layar kaca, macam serial si Unyil atau pementasan wayang dan ludruk? Semua luluh dalam aksi panggung Cristhina Aguilera dan akting menawan Brad pitt. Bahkan produk industri hiburan Indonesia modern justru datang dengan wajah ambigu: pemainnya tetap orang Indonesia, tapi ide dan konsep acaranya justru impor. Contoh aktualnya terepresentasi dalam AFI, Indonesian Idol, KDI, dan sejenisnya.
Artinya, status paling fundamental dari kita telah tergadaikan. Dengan sinis Afrizal Malna menyebutnya sebagai Amerikanisasi tubuh (Kompas, 21/08/05). Afrizal menuturkan Amerikanisasi tubuh berlangsung lewat politik globalisasi yang dijalankan Amerika dan negara kapitalis lainnya untuk melakukan hegemoni ikon-ikon Amerika (penjajahan) melalui sarana berbagai media. Amerika sengaja mengonstruksi ikon-ikonnya sedemikian rupa lewat wacana kebudayaan pop, teknologi, dan modal. Akhirnya propaganda itu tertanam dalam tubuh kita sebagai koloni identitas dan konsumsi.
Artinya globalisasi membuat kebudayaan (termasuk tubuh kita) seperti jalan raya. Berbagai jenis kendaraan bebas hilir mudik di atasnya. Akibatnya ikon tunggal tersebut (Amerikanisasi) cenderung tidak dilihat secara kritis. Bahkan identitasnya seperti terendam dalam keberagaman. Parahnya lagi, seakan-akan “kita adalah Amerika.” Tetapi sebaliknya “Amerika bukanlah kita.”
Kontemplasi dan Refleksi
Indonesia yang sudah berkali-kali ditaklukkan dalam berbagai bidang dalam konteks modernisasi dan globalisasi seperti jeratan utang oleh korporasi politik keuangan internasional (utang internasional) membuat tubuh bangsa Indonesia layaknya orang yang terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit.
Namun, konteks kontemporer yang juga menampilkan wajah Indonesia yang telah tertindas secara kultural, makin memperparah kondisi di atas. Lantas masih bisakah kita tertawa dan berbahagia, bila secara pemikiran dan mentalitas saja masih terjajah?
Anthony Giddens pernah mengutarakan bahwa kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif-diskursif (discoursive conciousness) masyarakatnya. Dengan konteks seperti itu, sudah selayaknya para elemen bangsa ini tidak hanya rutin melakukan ritual peringatan hari besar kebangsaan yang malah terkesan artifisial.
Artinya manifestasi nasionalisme guna menghadang penetrasi kaum neo-imprealis tidak hanya dilakukan dengan modus konvensional ala masa penjajahan atau revolusi, tapi juga harus terus dikontekstualisasikan dengan model penjajahan yang terus memperbarui diri tersebut. Karena bentuk penjajahan baru telah nampak di depan mata, maka dengan bertindak cepat, generasi muda bangsa ini tidak akan melangkah dengan pertanyaan, “mau dibawa ke mana negeri ini?.”
*) Mohammad Afifuddin adalah peneliti muda di PaSKal (Pusat Studi Kebudayaan dan Politik) Jember dan pegiat SoAC (Sense of Aufklarung Community).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Indonesia saat ini kehilangan Pemuda yang berkarakter, yang mampu menjadi generasi penerus yang diandalkan..
Maka dari itulah. Mari Pemuda/i Indonesia bersatulah.. dimanapun anda berada
Post a Comment