Saturday, May 26, 2007

Identitas, Ruang, dan Anak Muda

Oleh Nuraini Juliastuti

Bagaimanakah cara mendefinisikan identitas? Ini bukan pertanyaan yang sederhana, dan samasekali tidak gampang. Dan ini adalah usaha Insomnium untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Decky berpendapat bahwa pakaian atau pilihan fesyen yang dipilih oleh seseorang merupakan penentu identitas diri. Manusia yang bertelanjang dada atau tidak mengenakan pakaian samasekali diasumsikan bersih, kosong, seperti kain putih. Tidak ada makna yang bisa dilekatkan padanya. Baru ketika ada sepasang pakaian dikenakan, identitas itu menjadi ada. Pada karya Decky, kita bisa melihat bagaimana seseorang digambarkan dalam dua posisi yang berbeda dalam satu bingkai: seseorang dengan bertelanjang dada, dan seseorang yang sama dalam seperangkat fesyen yang menjadi pilihannya.

Hery dan Nakulo memilih untuk mendokumentasikan keseluruhan isi kamar dan tas untuk menunjukkan identitas diri, sementara Seto berselancar dan berkunjung ke banyak Friendster untuk mencari tahu bagaimana anak muda menggambarkan dan mengekspresikan kediriannya.

Dan meskipun menunjukkan penampakan visual yang berbeda, Sadewo sebenarnya masih bersumber dari daratan gagasan ide yang sama dengan Decky, Nakulo, Hery, dan Seto. Gagasan yang menyatakan bahwa identitas akan direfleksikan pada penampilan karakter atau ruang yang dimiliki oleh seseorang. Jika Decky memilih fesyen, Nakulo memilih sebuah tas, Hery memilih sebuah kamar, dan Seto memilih Friendster, maka Sadewo memilih sebuah cermin dan kamera sebagai sarana untuk menunjukkan identitas dirinya. Aku adalah aku seperti yang tampak di depanku, begitu kira-kira.

Apakah projek visual Insomnium ini sudah benar-benar menunjukkan gambaran identitas anak muda Indonesia jaman sekarang?

Pada satu hal, sebuah kamar, sebuah tas, sebuah ruang maya bernama Friendster, atau seperangkat fesyen memang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas seseorang. Tetapi satu refleksi kritis yang perlu diajukan disini adalah: apakah berarti semua identitas seseorang sudah dibukakan kepada kita semua yang melihat foto-foto ini, apakah setiap orang hanya memiliki satu identitas saja, apakah seseorang hanya memiliki satu identitas dari waktu ke waktu; terdapat beberapa teori tentang identitas yang menarik, tetapi yang menurut saya menarik adalah gagasan “identitas sebagai projek” yang terus menerus dikerjakan oleh seseorang, artinya identitas adalah sesuatu yang terus menerus pergeseran dan perubahan, serta gagasan bahwa dalam satu diri individu terdapat ciri-ciri identitas yang berbeda-beda, jadi seorang individu tidak hanya ada satu jenis identitas, tapi suatu poli identitas, identitas yang jamak, yang tidak hanya hidup bersama-sama, tetapi juga saling bertentangan, dan terbentuk dari berbagai banyak hal (Barker, Hall, Giddens).

Dan projek visual Insomnium ini bagi saya hanya menunjukkan satu potongan saja dari keseluruhan identitas yang menyusun kedirian seorang individu. Satu potongan gambaran identitas dari sebuah ruang milik anak muda. Gambaran yang bersifat permukaan; karena untuk mengetahui identitas ras, kelas, politik, seksualitas, masih diperlukan usaha-usaha lain yang lebih jauh lagi.

Kesamaan. Similaritas

Dari projek visual yang dilakukan oleh Hery dan Nakulo, muncul kesan kesamaan yang kuat dari orang-orang yang menjadi publik “riset visual” mereka.

Anissa, Arifa, Astri, Muhsan, Nanda, Pipit, Valen: nama-nama orang menjadi subjek visual Hery, bagi saya berasal dari kelas sosial yang sama. Mereka sama-sama anak muda, sama-sama menempuh pendidikan tinggi—dan artinya mereka mempunyai kelas sosial dan budaya yang sama, mungkin juga sama-sama tinggal di sebuah kamar pondokan/kos; sehingga roomscape atau suasana keruangan yang timbul juga sama. Sebuah kamar yang menjadi pusat ruang gerak para individu penghuninya. Ruang belajar (ada buku, rak buku, computer, memo-memo tertempel di papan busa), ruang tidur (bantal, guling, selimut, kasur), ruang tempat makan (gelas, piring, kantong-kantong makanan kering, toples-toples makanan, botol minuman), ruang tempat menghibur diri (televise, mini compo, tumpukan koleksi CD/DVD, play station), ruang tempat penyimpanan harta pribadi (pakaian, buku-buku, aneka pernik-pernik boneka dan benda koleksi lain, foto-foto), dan kadang juga dipakai sebagai tempat menunjukkan prestasi atau pencapaian pribadi (foto wisuda, piagam).

Tapi bagaimana dengan anak muda yang tidak punya kamar sendiri; atau anak muda yang tinggal bersama keluarga dalam sebuah rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan saja (satu ruangan yang dibagi dengan bapak, ibu, kakak, adik, dsb.), atau katakanlah seorang yang tidak punya rumah dan tidur di jalan? Mungkin kita akan menemukan pengalaman keruangan dan ekspresi identitas yang berbeda. Pada pagi dan siang hari, mereka yang tidur di jalanan mungkin akan melewatkan waktu dengan bekerja di jalan (sebagai pengemis atau pengamen), dan pada malam hari mereka akan pergi ke satu titik yang sudah ditentukan (depan toko atau salah satu stan warung di pasar), kemudian mulai menata calon tempat tidur itu, merapikan buntelan/barang bawaan, dan tidur. Atau coba lihat para bapak penarik becak yang punya rumah di Dlingo (Bantul) atau kecamatan-kecamatan kecil lain di Kulon Progo, yang sehari-harinya harus bekerja di Jogja—mencari penghasilan sebagai tukang becak—tetapi tidak mempunyai saudara/sahabat di kota ini tempat mereka mungkin bisa menumpang tidur, dan karenanya harus tidur di atas becak. Becak itu adalah sekaligus alat untuk mencari kerja dan rumah dan tempat tidur di malam hari.

Begitu juga dengan projek Nakulo yang berusaha mencari hubungan antara tas dan seseorang yang memilikinya. Sama seperti kamar, asumsinya adalah, tas dan segenap isinya adalah refleksi dari identitas pemakainya. Nakulo mempraktekkan asumsi ini kepada publik yang datang pada acara pameran Insomnium. Sebuah praktek interaktif yang menarik, tetapi sekaligus menjadi problematis karena publik pameran seni rupa di Indonesia ini juga sekaligus publik yang bisa dikatakan berasal dari lingkaran yang sama: mahasiswa sekolah seni, seniman, intelektual sekaligus pecinta seni, pemilik ruang alternatif dan dengan demikian juga para aktivis/pekerja kebudayaan. Dan maka kita kembali ditunjukkan dengan sesuatu yang seragam: media-media alternatif, alat tulis, kamera foto, kamera video, buku, handphone, dsb. Memang ada beberapa item benda yang sangat spesifik seperti alat mandi, kosmetik, atau kondom; tetapi secara keseluruhan semua jelas menunjukkan benda-benda para manusia yang sangat aktif dan selalu bergerak (mobile), mempunyai gaya fesyen yang sama dan bekerja di lingkungan ide-ide yang kurang lebih sama.

Seniman dan Periset

Yang menarik untuk dicermati dari pameran ini adalah hasrat dari Decky, Hery, Nakulo, Sadewo, dan Seto untuk bergerak menempati posisi sebagai periset atau peneliti. Material visual dipakai sebagai medium untuk mendekati suatu persoalan. Coba lihat metode-metode yang dilakukan Hery, Nakulo, dan Seto: terdapat langkah penelusuran ruang-ruang anak muda, observasi, menentukan cara/strategi untuk menampilkan identitas anak muda, wawancara, pengumpulan materi dan pendokumentasian (mengunduh foto-foto dari Friendster seperti dilakukan Seto atau memotret detil-detil kamar dan tas seseorang), dan mempresentasikan kepada publik—secara visual.

Yang dipertaruhkan disini adalah bukan lagi unsur ketrampilan, kepiawaian, craftsmanship, melainkan kekuatan konsep yang menjadi latar belakang suatu karya. Sekaligus membuka diskusi akan satu perdebatan klasik tentang kelahiran karya yang bisa dianggap seni dan bukan seni, dari seseorang yang bisa dikatakan seniman dan bukan seniman. Karena dengan mengacu pada kekuatan konsep yang dianggap lebih penting, maka faktor siapa yang turun tangan langsung untuk membuat karya tidak lagi dianggap sebagai persoalan utama.

*) Nuraini Juliastuti adalah co-founder KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.

Quo Vadis Social Networking Site?

Oleh Vinsensius Sitepu

Social Networking Site dirasakan semakin jenuh seiring semakin banyaknya perusahaan yang mendirikan situs web yang sejenis. Tidak sedikit juga perusahaan media dan perusahaan teknologi informasi komunikasi (TIK) kelas dunia ramai-ramai mengakuisisi jenis situs yang paling cepat mendatangkan uang ini.

Kita semakin terbiasa membaca berita online sembari mendengarkan suara dari video streaming Youtube. Atau mendengarkan Microsoft Reader membacakan e-book ke dalam telinga Anda, ketika Anda mengolahnya untuk sebuah artikel di blog pribadi Anda. Menukik dalam konteks ekonomi, kini multimedia menjadi mesin uang dahsyat, sama hal seperti televisi, radio dan surat kabar yang semakin tergerus kue iklannya oleh internet. Multimedia menawarkan banyak kebutuhan dalam bentuk pesan yang beragam yang dapat dinikmati sekaligus dan interaktif mencapai banyak orang dan tempat.

Faedah ekonomi dan politik

Fenomena yang paling kontemporer dua tahun belakangan ini adalah social networking site. Karakter interakfitas dan model multimedia kental dalam jenis situs seperti ini. Selain teks dan gambar diam, ratusan juta penduduk dunia terkonvergen dalam media animasi dan video.

Karakter bisnis yang menggiurkan membuat investasi di bidang ini sangat tinggi. Setelah fenomena Youtube dengan video sharing site, kemudian Friendster, Facebook dan MySpace, 2 Maret lalu perusahaan Silicon Valley kelas berat, Cisco System, membeli Tribe.net yang tidak terlalu populer di kalangan pengguna. Nytimes.com tidak secara detil menjelaskan berapa Cisco System membeli perusahaan kecil yang dikelola oleh 8 orang itu. Sungguh mereka sadar sangat banyak orang kini menghabiskan waktu mereka berperan sebagai warga dalam komunitas sosial maya. Nytimes.com menyebut ini sebagai upaya menjadi perusahaan berorientasi konsumen (consumer-oriented company). Rupert Murdoch pemilik MySpace sendiri pernah memproyeksikan dari perusahannya menghasilkan uang 25 juta dolar setiap bulan dengan peningkatan 30 persen setiap kuartal (Donna Bogatin dari ZDNet).

Selain menguntungkan secara ekonomi, situs ini efektif sebagai media kampanye dan penggalangan massa. Barack Obama misalnya merasa perlu membuat situs berkarakter social networking site. Barack Obama menerbitkan my.barackobama.com untuk mendapatkan perhatian publik lebih luas, tidak hanya dari publik dalam negeri AS, tetapi masyarakat dunia.

Bahasa digital sebagai tahapan mediamorfosis terbesar ketiga mewujudkan itu ketika bersatupadu dengan internet. Internet ditambah keinginan kita berkomunikasi secara interaktif, genap karena internet menjangkau lawan komunikasi secara massal, luas, masif, cepat, dan realtime. Menjangkau tujuh benua hanya melaui klik mouse, social networking site bernilai investasi miliaran dolar dengan jumlah anggota puluhan juta orang serta jutaan pengunjung yang memiliki minat yang sama setiap harinya.

Galakkan fleksibilitas dan informasi

Bebeberapa pengamat multimedia mengungkapkan karakter Friendster dan beberapa social networking site memang sangat mengagumkan. Tidak dari sisi bisnis dan teknologi tetapi juga dampak sosial dan politisnya sangat besar. Namun demikian, harus diakui lama kelamaan situs tersebut menempatkan pengguna tidak sebebas karakter alami seorang manusia. Ada batasan mana yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Padahal fleksibilitas memungkinkan pengguna menciptakan dan mendesain dunianya sendiri. Demikian yang disampaikan Andreessen saat memperkenalkan Ning.com di awal tahun ini.

Ning.com adalah situs yang memungkinkan Anda membuat social networking site sendiri.Menurut Roger Fidler dalam Mediamorfosis, dunia multimedia kapasitas untuk secara serentak memproses berbagai informasi dalam berbagai bentuk, tampaknya akan semakin membesar dalam setiap generasi baru. Sebaliknya kesabaran dan jangka waktu perhatian dan konsumsi akan semakin berkurang. Artinya dalam kasus social networking site akan muncul kejenuhan ketika sudah semakin banyak situs yang sejenis yang pada dasarnya serupa. Tidak ada kesanggupan pengelola untuk memberikan perbedaan layanan dan fasilitas yang signifikan. Ini jika kita berasumsi pada kebutuhan alami pengguna internet terhadap fleksibilitas sebuah layanan.

Bahkan Molly Wood editor CNET.com dengan kritis menyatakan, "There is nothing to do in social networking site." Memang benar kebanyakan pengguna social networking site melakukan percakapan kecil dan remeh temeh. Friendster dan Orkut misalnya, walaupun berkarakter interaktif kontennya tidak cukup informatif kalau dibandingkan dengan blog, citizen journalism dan situs berita online.

Hal di atas jelas sebuah tuntutan dan kebutuhan. Peningkatan interaktifitas, fleksibilitas dan lebih informatif adalah tugas inovator dan perusahaan kapitalis. Sedangkan pengguna hendaknya menjaga sikap kritis, tidak menjadi arca pasif yang konsumtif. Harus diakui social networking site adalah peluang ekonomi di samping memenuhi kebutuhan berkomunikasi yang berkualitas. Kita tunggu saja sampai di mana kemajuan social networking site.

*) Vinsensius Sitepu adalah Lektor Luar Biasa Perkembangan Teknologi Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi, USU, Medan.

Thursday, May 24, 2007

Ratu, Musik Populer, dan Budaya Patriarkal

Oleh Gindho Rizano

Dalam musik populer Indonesia, frase 'Band papan atas' selalu diasosiasikan dengan band-band pria seperti sebut saja Samsons, Nidji atau Dewa. Tidak bisa dipungkiri ada kecenderungan untuk tidak memasukkan band wanita, seberapa pun populernya, dalam kategori tersebut. Ambil duo Ratu sebagai contoh; Dari segi penjualan dan popularitas band ini tentunya tidak kalah dari band pria yang disebutkan diatas. Namun tampaknya titel band papan atas nampaknya belum lengket dengan Ratu. Kenapa? Ini semua tidak lepas dari permasalahan gender.

Budaya patriarkal membuat kita menganggap bahwa hanya band laki-laki seperti Samsons, Peter Pan atau Dewa 19 yang bisa diberi titelband nomor satu. Apalagi 'band' selalu diasosiasikan dengan laki-laki dan dunianya. Lihat saja pada kata frontman yang bias gender dan kata seperti band leader yang mengamsusikan otoritas dan mengingatkan kita pada Law-of-the-Fathe- nya Jaques Lacan. Bagi remaja pria, menjadi 'anak band' adalah sebuah identitas yang patut dibanggakan sementara remaja wanita dibentuk sebagai penonton pasif pada pertunjukan konser dan mendapatkan identitasnya dari memuja band-band yang dianggap 'keren'.

Dalam budaya patriarkal mengakui band wanita lebih besar dari band lain berarti mengakui kekalahan laki-laki dalam bermusik mengingat 'band' adalah situs dimana laki-laki untuk unjuk gigi: untuk menjadi 'laki-laki'. Dalam budaya patriarkal yang bersifat hirearkis dan manipulatif ini, kehebatan wanita (secara sadar atau tidak sadar) selalu disangkal.

Lain halnya dengan dunia penyanyi wanita solo yang dimana orang mudah saja menganugrahi titel diva pada penyanyi seperti, sebut saja Siti Nurhaliza atau KD. Penganugrahan dan penghargaan yang tinggi pada mereka salah satunya disebabkan karena imej mereka yang sesuai dengan asumsi dan konstruksi budaya partriarkal tentang 'bagaimana wanita seharusnya': lembut, keibuan, tahu tempat dan segala macam sifat pasif dan konformis lainnya.

Berbeda dengan 'diva' tersebut, Ratu mempunyai imej nakal, independen, tidak bisa diatur, dan malah mengatur. Ini bisa dilihat dari video mereka 'Lelaki Buaya Darat' dimana diceritakan pada akhir video tersebut mereka balik menyandera kaum pria yang sebelumnya telah menyandera mereka.

Dalam video yang sama mereka menunjukkan bahwa jatidiri wanita tidak melulu didapat dari hubungan cinta dengan pria; Identitas dapat diraih dari sikap sisterhood dimana digambarkan di video tersebut satu personel band menolong personel band lainnya.

Ini berbeda dengan wacana yang dibentuk banyak video musik lain yang beredar bahwa wanita hanya mempunyai arti bila mendapatkan cinta sang laki-laki. Satu lagi yang pantas dicatat adalah walaupun kedua personel Ratu berstatus Ibu, mereka tidak melihatkan sifat 'keibuan' pada penampilan publiknya; satu lagi goncangan kecil pada budaya patriarkal. Ratu berhasil melihatkan bahwa identitas bersifat tidak tetap dan 'cair'; Wanita tidak bisa distereotipkan menjadi satu hal seperti Ibu rumah tangga atau wanita penggoda.

Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari pembahasan pendek ini. 1) Musik populer adalah situs dimana ketimpangan gender dipertahankan dimana wanita dikontruksi sebagai penonton pasif. 2) Dominasi band pria dan 'Penganugrahan' titel diva pada penyanyi solo tak lepas dari apa yang disebut Kate Millett sebagai 'politik seksual'. 3) Budaya populer tidak hanya merupakan manipulasi budaya massa kapitalisme tingkat lanjut, namun juga bisa dilihat sebagai ekspresi otentik kelompok tertentu.

*) Gindho Rizano S.S. adalah dosen magang Di Fakultas Sastra Universitas Andalas

Pemuda Indonesia: Medan Grafiti Globalisasi

Oleh Mohammad Afifuddin

Lazim kita temui, anak muda (baca: mahasiswa) di Surabaya pergi ke kampus dengan mengecat rambutnya warna-warni. Atau sekelompok remaja yang gemar nongkrong di café berlisensi asing (transnasional) di dalam kompleks pertokoan mewah atau mal-mal dan plaza.

Bisa ditebak, golongan pertama mungkin sudah malu membawa identitas generasi muda Indonesia yang memang secara genital rambutnya berwarna hitam dan sedikit ikal. Sedangkan yang terakhir ini, pasti merasa risih jika harus makan di pinggir jalan atau berlama-lama cangkru`an di warung kopi.

Fenomena ini menjadi bukti dari analogi yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, bahwa kegilaan mencari identitas “semu” tersebut sebagai ekstasi yang melanda masyarakat kontemporer. Di mana orang akan berduyun-duyun mendatangi gerai McDonald`s daripada “McDono.” Walaupun beda status made in-nya, tapi relatif tidak beda rasa dan kelezatannya, apalagi menghilangkan cap makanan tersebut sebagai junk food.

Semua berpulang pada satu motif: demi gengsi dan prestise. Karena status “manusia modern” hanya untuk mereka yang melakukan itu semua. Tradisi mimikri ini terus lestari akibat makin terlembaganya kebiasaan tersebut dalam mind set budaya mayoritas anak muda Indonesia zaman sekarang. Apalagi sejak pesatnya perkembangan industri budaya pop dalam dekade 80-an sampai akhir 90-an.

Bahkan ada lagi yang menarik. Sebuah pemberitaan di salah satu media mengisahkan tertangkapnya seorang pemuda oleh Polisi akibat membawa narkoba. Ketika ditanya motifnya, simple ia menjawab, “ingin seperti para musisi rock di Amrik.” Atau yang lebih ekstrem lagi ingin mengikuti jejak sang mahaguru Raggae asal Jamaika, Bob Marley.

Kondisi macam itu sebenarnya ingin berbicara pada kita, bahwa, identitas budaya Indonesia sedang pada titik nadir. Karena yang akan dipertaruhkan adalah anak muda: satu generasi yang menjadi tumpuan penerus estafet budaya nusantara yang (katanya) dulu pernah mendapat “gelar” Adi Luhung.

Banyak orang sepakat, makin lama usia kemerdekaannya, negeri ini memang makin terjajah. Tentu tidak lagi terjajah dalam arti konvensional. Melainkan penjajahan finansial dan penjajahan politik. Dengan bergabungnya Indonesia dalam blok AFTA dan WTO, makin menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap tersetir oleh kebijakan neo-liberalisme dari para agen The Economic Hit Man macam IMF atau Bank Dunia.

Tapi kesadaran masyarakat atas invasi di bidang politik dan ekonomi, mungkin akan sedikit melalaikan bahayanya posisi suatu bangsa bila telah terjajah secara kultural. Karena jamak dipahami, budaya memegang peranan penting sebagai “otak” dari segala tingkah laku masyarakat, sekaligus penanda identitas kultural sebuah bangsa.

Secara garis besar, dalam budaya dikenal dua jenis: budaya material (fisik, simbol) dan budaya in/non-material (pemikiran, ajaran, kepercayaan, dsb). Penjajahan yang dilakukan dalam bentuk material akan cenderung mudah terdeteksi secara kasat mata. Sebab percampuran arsitektur antar kultur dalam sebuah bangunan atau hybridasi bentuk dalam wujud pakaian adat dengan cepat dapat diketahui asal muasal identitas mulanya.

Bandingkan dengan kolonialisasi yang masuk dalam ranah kognitif dan mentalitas manusianya. Siapa yang dapat mengukur kedalaman rasa seseorang secara tepat? Dan siapa pula mampu menimbang percampuran unsur-unsur pembentuk mind set seseorang?

Nampaknya, kondisi itulah yang sedang kita hadapi. Benturan budaya yang intens lama-kelamaan kian menghilangkan elemen asal budaya aslinya. Buktinya generasi muda kita rela menyerahkan tubuhnya untuk dilumuri “grafiti” dari negeri seberang. Mereka tak rikuh membebek pada industri fashion barat. Lantas memanjakan matanya dengan tontonan sinema maupun tayangan hiburan asing, layaknya produk MTv dan Holywood.

Lalu kemanakah tayangan-tayangan hiburan produksi pribumi yang dulu masih menghiasi layar kaca, macam serial si Unyil atau pementasan wayang dan ludruk? Semua luluh dalam aksi panggung Cristhina Aguilera dan akting menawan Brad pitt. Bahkan produk industri hiburan Indonesia modern justru datang dengan wajah ambigu: pemainnya tetap orang Indonesia, tapi ide dan konsep acaranya justru impor. Contoh aktualnya terepresentasi dalam AFI, Indonesian Idol, KDI, dan sejenisnya.

Artinya, status paling fundamental dari kita telah tergadaikan. Dengan sinis Afrizal Malna menyebutnya sebagai Amerikanisasi tubuh (Kompas, 21/08/05). Afrizal menuturkan Amerikanisasi tubuh berlangsung lewat politik globalisasi yang dijalankan Amerika dan negara kapitalis lainnya untuk melakukan hegemoni ikon-ikon Amerika (penjajahan) melalui sarana berbagai media. Amerika sengaja mengonstruksi ikon-ikonnya sedemikian rupa lewat wacana kebudayaan pop, teknologi, dan modal. Akhirnya propaganda itu tertanam dalam tubuh kita sebagai koloni identitas dan konsumsi.

Artinya globalisasi membuat kebudayaan (termasuk tubuh kita) seperti jalan raya. Berbagai jenis kendaraan bebas hilir mudik di atasnya. Akibatnya ikon tunggal tersebut (Amerikanisasi) cenderung tidak dilihat secara kritis. Bahkan identitasnya seperti terendam dalam keberagaman. Parahnya lagi, seakan-akan “kita adalah Amerika.” Tetapi sebaliknya “Amerika bukanlah kita.”

Kontemplasi dan Refleksi

Indonesia yang sudah berkali-kali ditaklukkan dalam berbagai bidang dalam konteks modernisasi dan globalisasi seperti jeratan utang oleh korporasi politik keuangan internasional (utang internasional) membuat tubuh bangsa Indonesia layaknya orang yang terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit.

Namun, konteks kontemporer yang juga menampilkan wajah Indonesia yang telah tertindas secara kultural, makin memperparah kondisi di atas. Lantas masih bisakah kita tertawa dan berbahagia, bila secara pemikiran dan mentalitas saja masih terjajah?

Anthony Giddens pernah mengutarakan bahwa kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif-diskursif (discoursive conciousness) masyarakatnya. Dengan konteks seperti itu, sudah selayaknya para elemen bangsa ini tidak hanya rutin melakukan ritual peringatan hari besar kebangsaan yang malah terkesan artifisial.

Artinya manifestasi nasionalisme guna menghadang penetrasi kaum neo-imprealis tidak hanya dilakukan dengan modus konvensional ala masa penjajahan atau revolusi, tapi juga harus terus dikontekstualisasikan dengan model penjajahan yang terus memperbarui diri tersebut. Karena bentuk penjajahan baru telah nampak di depan mata, maka dengan bertindak cepat, generasi muda bangsa ini tidak akan melangkah dengan pertanyaan, “mau dibawa ke mana negeri ini?.”

*) Mohammad Afifuddin adalah peneliti muda di PaSKal (Pusat Studi Kebudayaan dan Politik) Jember dan pegiat SoAC (Sense of Aufklarung Community).

Tuesday, May 22, 2007

Contemporary Art... Art for Society

By Nasir Baharuddin

Contemporary art is often engaging a multi-disciplinary discourse, utilizing a diverse body of skills and sometimes carry provocative dialogues pertaining to the relevant issues shaping the world right now. "Contemporary art" refers to serious works of art. Serious is hard to define in this context. Contemporary art is art that is intended to engage in a dialogue between the works of art deemed relevant by the art public. Serious of course does not mean "without humor." It is even debatable whether or not the artist called "contemporary" needs to have an awareness of currently active art issues. Nevertheless, most contemporary art is made by people who are fairly well aware of the issues in art and of the wider world”.( Wikipedia, the free encyclopedia)

It is continually engaging, pluralistic, and affecting the boundaries of perception. In other words, art was perceived as dialectic and building mind structure as living organism to society. It tasks to develop a visual text that can frame new phenomenological senses and shaped different context of vocabulary perception. As Robert Irwin put it, "to be an artist is not a matter of making paintings or objects at all. What we are really dealing with is our state of consciousness and the shape of our perception." Further more, the purpose of art is to impart the sensation of things as they are perceived and not as they are known. The technique of art is to make objects "unfamiliar" to make forms difficult, to increase the difficulty and length of perception because the process of perception is an aesthetic end in itself and must be prolonged. “Art is a way of experiencing the artfulness of an object; the object is not important”. (Shklovsky)

The idea of ‘not important’, I hope the artists will not misunderstood, it doesn’t meant that the artists will not producing any artwork, but the issue here is how the artwork become the matter of object of perception. Meaning that the artwork is only the reflection to create the state of consciousness and how the audience looks at it and developed into new experience. In which art can be understood as a process of inquiry, meaning that an object made by an artist can be seen as a method for collecting and preserving information and understanding. In other words the role of an art work is to give a voice by interpreting into a suitable theoretical context, where the final products can be seen as revealing their stories. (i.e. the whole body of knowledge). In this sense the artists will know what kind of thing that they do. So, the artistic activity is not just a medium for gathering and producing knowledge, but also a method for analyzing and commenting on the information thus produced. (Makela)

In the cultural moment of globalize, distributed, information networks, artists concerned with the relevance of art practice in terms of its social and political function – and for those who would wish to grasp (or engage) the complexity of social life -- can develop new methodologies, (these may include, appropriating anthropological ethnographic practice, cognitive biology and communications technologies), for the context and practice of an ethical, social and political art. These methodologies become fundamental mind structure in merging art or transforms into social architectural context as a form of ‘body’. The language of the ‘body’ plays an activity that aligning the systems of the social and patterning the way of thinking. To creates a sensible and convincing communication relationship between the doer and audience as a ‘useful’ self organizing systems. Looking further into the idea of ‘useful’, it becomes clear that for social architectures to exist, they must be functional -- in other words people have to have a good reason to be part of them (they must have a use for them). Social architectures as artworks are always functional artworks. People need a purpose for becoming part of the social organization beyond the simple fact that they are participating in an artwork, otherwise the motive force of the structure is dead.

As culture(s) or social systems evolve through networks of exchange and economies of relation, the relevance of art practice is increasingly dependent upon a strip of the tradition of individual authorship, in favor of a model based on self organizing systems. The one-way of communication between artists and audience and the privileging of autobiographical documentation should give way to the generation of frameworks for collaboration, which are meaningful relative to the social environment of the audience. Public should be invited, participate and involved discussion about new perspective of ‘body’ (mind and object) and bringing ‘self’ into provocative discourse. This will allow and proposed an environment of perception into various possibilities among audience that not only perceived art as a currency commodities and elitist pleasurable collection. It’s an element of visual paradoxical and the question of perception ambiguity.

Anyway, the practical application of contemporary art within the field of economics and business remains largely untapped. Art is not just the aspect of producing and selling to the aesthetic mind, much less the clothing of corporate identity. The major resource of art is the interdisciplinary exchange of ideas and creative system know-how from the professionals who make, and base their whole livings on the intellectual differentiated observation. Apart of this, we are convinced that art must be transformed into a progressive force for change in the future. Understanding and accepting this premise, artists practicing now (particularly in light of available information and communications technologies) should inhabit and understand the context, perspective and social environment of the "other," or audience/participant, and seek to change that social environment "for the sake of more human and egalitarian future" – (Cork).

In this context, contemporary artist should think and shape beyond what they have and understand the nature of participant in order to transform a progressive force between both objects (art and social forms). To build the mechanism to understand the nature of participant, art can function critically and transformative without being oppositional, disruptive, or rapturous. In this case artist requires: a commitment to a new model of exchange and communication - collaboration and mutuality, an understanding that "Art" is dependent on society - that productive and effective works of art are dependent upon relationships between people not the product of one individual, and a desire among artists to function within the social fabric of the audience/participant's daily life. This does not mean that all art must be humorless and profound; art can take any form whatsoever. It simply means that art must always challenge other systems of culture in order to remain visible. The important of visibility of art is the important of communication.

This is a description of what I will call ‘Context Collaboration’, a conceptualization of art practice, which addresses the socio-economic and intellectual environment of the audience as similar to the socio-economic and intellectual environment of the "art world”. In post-avant-garde, context-collaboration, art practice the role of the artist is that of context-supporting establishing contexts, frameworks or systems relevant in particular social environments. "Audience" becomes "participant" given the opportunity, not merely to "interact," but to collaborate in the evolution of a system. Ethically, this collaboration must be framed in a manner that respects the participant's intelligence and intentionality.

The artist directly uses the audience's world of references and as a result is able to widen considerably the composition of his/her audience. Instead of presenting a preferred view, i.e. presuming that his/her audience will see the artist’s views as meaningful, the artist embraces the concept of pluralism and accepts the relativity of the audience's perception and the context-collaboration of his work. The artist directs the audience's attention towards a given view, and provides the means to examine it in a particular way, but does not prescribe specific meaning that should be brought to bear on it. Instead the audience experiences the work and searches for new meanings from within the realm of what is already meaningful to them.

To encourage the composition of context collaboration, it leans on institutions of the educational system such as academies as well as on the system of media: without catalogues, reviews, books, and even TV-shows about art, art would not exist at all because from a sociological point of view art is merely a phenomenon of communication. The art system is a system with a specific form of communication, and this communication uses a typical code dividing the world into binary distinctions such as beautiful versus ugly or interesting versus boring or matching versus non-matching, whereas other systems use other codes such as profitable versus non-profitable, true versus false, or right versus wrong. With the help of these codes the art system distinguishes itself from its environment, which consists of other systems and their codes.

Consequently, to treat contemporary art as a relationship between art and society, firstly, one must convincingly argue on its own terms against an art that is content to fold itself into the channels of communication and around everyday life. Meaning that we need to go deeper, if the artists think that art is capable to expanding its boundaries in order to facilitate innovation, and then it is no longer capable of distinguishing itself from the world. Artist should open more space to let the audience interact to a new model of exchange and communication. This is also the thrust of anti-elitism in visual art.

References:
Robert Irwin “ Islamic Art in Context: Art, Architecture, and the Literary World”
Prentice Hall (June 1997)
Cork, Richard, Art for whom, Serpentine Gallery and Arts Council of England, 1978.
Cork, Richard, Breaking Down the Barriers, Yale University Press (1990s)
Shklovsky, Viktor Borisovic, "Art as Technique" in Russian Formalist Criticism: Four Essays, ed. Lee T. Lemon and Marion J. Reis, Lincoln: University of Nebraska Press, 1965,
Wikipedia, the free encyclopedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Contemporary_art
Maarit Makela : http://www.tii.se/reform/inthemaking/files/p86.pdf

*) Nasir Baharuddin (Kuala Lumpur, Malaysia). Email: mnbb11@yahoo.com. This article was published in Majalah Sentap! (Kuala Lumpur, 2005).