Saturday, May 26, 2007

Identitas, Ruang, dan Anak Muda

Oleh Nuraini Juliastuti

Bagaimanakah cara mendefinisikan identitas? Ini bukan pertanyaan yang sederhana, dan samasekali tidak gampang. Dan ini adalah usaha Insomnium untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Decky berpendapat bahwa pakaian atau pilihan fesyen yang dipilih oleh seseorang merupakan penentu identitas diri. Manusia yang bertelanjang dada atau tidak mengenakan pakaian samasekali diasumsikan bersih, kosong, seperti kain putih. Tidak ada makna yang bisa dilekatkan padanya. Baru ketika ada sepasang pakaian dikenakan, identitas itu menjadi ada. Pada karya Decky, kita bisa melihat bagaimana seseorang digambarkan dalam dua posisi yang berbeda dalam satu bingkai: seseorang dengan bertelanjang dada, dan seseorang yang sama dalam seperangkat fesyen yang menjadi pilihannya.

Hery dan Nakulo memilih untuk mendokumentasikan keseluruhan isi kamar dan tas untuk menunjukkan identitas diri, sementara Seto berselancar dan berkunjung ke banyak Friendster untuk mencari tahu bagaimana anak muda menggambarkan dan mengekspresikan kediriannya.

Dan meskipun menunjukkan penampakan visual yang berbeda, Sadewo sebenarnya masih bersumber dari daratan gagasan ide yang sama dengan Decky, Nakulo, Hery, dan Seto. Gagasan yang menyatakan bahwa identitas akan direfleksikan pada penampilan karakter atau ruang yang dimiliki oleh seseorang. Jika Decky memilih fesyen, Nakulo memilih sebuah tas, Hery memilih sebuah kamar, dan Seto memilih Friendster, maka Sadewo memilih sebuah cermin dan kamera sebagai sarana untuk menunjukkan identitas dirinya. Aku adalah aku seperti yang tampak di depanku, begitu kira-kira.

Apakah projek visual Insomnium ini sudah benar-benar menunjukkan gambaran identitas anak muda Indonesia jaman sekarang?

Pada satu hal, sebuah kamar, sebuah tas, sebuah ruang maya bernama Friendster, atau seperangkat fesyen memang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas seseorang. Tetapi satu refleksi kritis yang perlu diajukan disini adalah: apakah berarti semua identitas seseorang sudah dibukakan kepada kita semua yang melihat foto-foto ini, apakah setiap orang hanya memiliki satu identitas saja, apakah seseorang hanya memiliki satu identitas dari waktu ke waktu; terdapat beberapa teori tentang identitas yang menarik, tetapi yang menurut saya menarik adalah gagasan “identitas sebagai projek” yang terus menerus dikerjakan oleh seseorang, artinya identitas adalah sesuatu yang terus menerus pergeseran dan perubahan, serta gagasan bahwa dalam satu diri individu terdapat ciri-ciri identitas yang berbeda-beda, jadi seorang individu tidak hanya ada satu jenis identitas, tapi suatu poli identitas, identitas yang jamak, yang tidak hanya hidup bersama-sama, tetapi juga saling bertentangan, dan terbentuk dari berbagai banyak hal (Barker, Hall, Giddens).

Dan projek visual Insomnium ini bagi saya hanya menunjukkan satu potongan saja dari keseluruhan identitas yang menyusun kedirian seorang individu. Satu potongan gambaran identitas dari sebuah ruang milik anak muda. Gambaran yang bersifat permukaan; karena untuk mengetahui identitas ras, kelas, politik, seksualitas, masih diperlukan usaha-usaha lain yang lebih jauh lagi.

Kesamaan. Similaritas

Dari projek visual yang dilakukan oleh Hery dan Nakulo, muncul kesan kesamaan yang kuat dari orang-orang yang menjadi publik “riset visual” mereka.

Anissa, Arifa, Astri, Muhsan, Nanda, Pipit, Valen: nama-nama orang menjadi subjek visual Hery, bagi saya berasal dari kelas sosial yang sama. Mereka sama-sama anak muda, sama-sama menempuh pendidikan tinggi—dan artinya mereka mempunyai kelas sosial dan budaya yang sama, mungkin juga sama-sama tinggal di sebuah kamar pondokan/kos; sehingga roomscape atau suasana keruangan yang timbul juga sama. Sebuah kamar yang menjadi pusat ruang gerak para individu penghuninya. Ruang belajar (ada buku, rak buku, computer, memo-memo tertempel di papan busa), ruang tidur (bantal, guling, selimut, kasur), ruang tempat makan (gelas, piring, kantong-kantong makanan kering, toples-toples makanan, botol minuman), ruang tempat menghibur diri (televise, mini compo, tumpukan koleksi CD/DVD, play station), ruang tempat penyimpanan harta pribadi (pakaian, buku-buku, aneka pernik-pernik boneka dan benda koleksi lain, foto-foto), dan kadang juga dipakai sebagai tempat menunjukkan prestasi atau pencapaian pribadi (foto wisuda, piagam).

Tapi bagaimana dengan anak muda yang tidak punya kamar sendiri; atau anak muda yang tinggal bersama keluarga dalam sebuah rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan saja (satu ruangan yang dibagi dengan bapak, ibu, kakak, adik, dsb.), atau katakanlah seorang yang tidak punya rumah dan tidur di jalan? Mungkin kita akan menemukan pengalaman keruangan dan ekspresi identitas yang berbeda. Pada pagi dan siang hari, mereka yang tidur di jalanan mungkin akan melewatkan waktu dengan bekerja di jalan (sebagai pengemis atau pengamen), dan pada malam hari mereka akan pergi ke satu titik yang sudah ditentukan (depan toko atau salah satu stan warung di pasar), kemudian mulai menata calon tempat tidur itu, merapikan buntelan/barang bawaan, dan tidur. Atau coba lihat para bapak penarik becak yang punya rumah di Dlingo (Bantul) atau kecamatan-kecamatan kecil lain di Kulon Progo, yang sehari-harinya harus bekerja di Jogja—mencari penghasilan sebagai tukang becak—tetapi tidak mempunyai saudara/sahabat di kota ini tempat mereka mungkin bisa menumpang tidur, dan karenanya harus tidur di atas becak. Becak itu adalah sekaligus alat untuk mencari kerja dan rumah dan tempat tidur di malam hari.

Begitu juga dengan projek Nakulo yang berusaha mencari hubungan antara tas dan seseorang yang memilikinya. Sama seperti kamar, asumsinya adalah, tas dan segenap isinya adalah refleksi dari identitas pemakainya. Nakulo mempraktekkan asumsi ini kepada publik yang datang pada acara pameran Insomnium. Sebuah praktek interaktif yang menarik, tetapi sekaligus menjadi problematis karena publik pameran seni rupa di Indonesia ini juga sekaligus publik yang bisa dikatakan berasal dari lingkaran yang sama: mahasiswa sekolah seni, seniman, intelektual sekaligus pecinta seni, pemilik ruang alternatif dan dengan demikian juga para aktivis/pekerja kebudayaan. Dan maka kita kembali ditunjukkan dengan sesuatu yang seragam: media-media alternatif, alat tulis, kamera foto, kamera video, buku, handphone, dsb. Memang ada beberapa item benda yang sangat spesifik seperti alat mandi, kosmetik, atau kondom; tetapi secara keseluruhan semua jelas menunjukkan benda-benda para manusia yang sangat aktif dan selalu bergerak (mobile), mempunyai gaya fesyen yang sama dan bekerja di lingkungan ide-ide yang kurang lebih sama.

Seniman dan Periset

Yang menarik untuk dicermati dari pameran ini adalah hasrat dari Decky, Hery, Nakulo, Sadewo, dan Seto untuk bergerak menempati posisi sebagai periset atau peneliti. Material visual dipakai sebagai medium untuk mendekati suatu persoalan. Coba lihat metode-metode yang dilakukan Hery, Nakulo, dan Seto: terdapat langkah penelusuran ruang-ruang anak muda, observasi, menentukan cara/strategi untuk menampilkan identitas anak muda, wawancara, pengumpulan materi dan pendokumentasian (mengunduh foto-foto dari Friendster seperti dilakukan Seto atau memotret detil-detil kamar dan tas seseorang), dan mempresentasikan kepada publik—secara visual.

Yang dipertaruhkan disini adalah bukan lagi unsur ketrampilan, kepiawaian, craftsmanship, melainkan kekuatan konsep yang menjadi latar belakang suatu karya. Sekaligus membuka diskusi akan satu perdebatan klasik tentang kelahiran karya yang bisa dianggap seni dan bukan seni, dari seseorang yang bisa dikatakan seniman dan bukan seniman. Karena dengan mengacu pada kekuatan konsep yang dianggap lebih penting, maka faktor siapa yang turun tangan langsung untuk membuat karya tidak lagi dianggap sebagai persoalan utama.

*) Nuraini Juliastuti adalah co-founder KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.

1 comment:

Anonymous said...

konsep dan teori yg masuk akal....